Masjid Pertama di Indonesia ternyata yang memberi nama adalah orang Tionghoa!
Cheng Hoo,
dikenal sebagai laksamana dan bahariawan dari daratan China yang sangat
tangguh. Ia bersama 28.000 prajurut dengan 300 armada kapal berhasil
mengarungi planet bumi melalui samudera hingga tujuh kali putaran. Dalam
pelayaran perdamaian atas perintah kekaisaran Ming itu, Cheng Hoo
sempat menginjakkan kakinya di tanah kekuasaan Majapahit antara tahun
1406-1409 M.
Belakangan nama Cheng Hoo begitu dikenal di masyarakat
tanah air setalah film Cheng Hoo yang disyuting di tiga negara dan
dibintangi mantan Mensesneg RI Yusrul Ilza Mahendara dan Saifullah Yusuf
selesai dibuat.
Tidak hanya itu, kebesaran nama Cheng Hoo juga memberi inspirasi kepada warga Tionghoa muslim di Surabaya untuk mendirkan yayasan dan bangunan masjid dengan nama Masjid Muhamad Cheng Hoo.
Agak kurang sreg memang, dengan nama masjid ini. Telinga kita terlalu
diakrabkan dengan nama-nama masjid dalam bahasa arab atau campuran
bahasa arab-Indonesia. Kesan kita selama ini terbangun, keislaman atau
yang berbau Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa dan dunia arab,
baik dalam sastra, terutama tradisi-tradisi keagamaan. Sehingga di benak
kita, hal-hal yang berbau Tionghoa sudah sangat identik dengan kelenteng atau kepercayaan Tao bahkan identik dengan ritual membakar dupa dan kemenyan.
Namun tidak demikian jika berkunjung ke Masjid Muhamad Cheng Hoo di Surabaya. Masjid Pertama
yang didirikan tahun 2002 dan diresmikan oleh Menteri Agama RI Prof KH
Agil Syiraz Almunawar itu, mulai lantai hingga kubah sama sekali tidak
menunjukkan arsitektur timur tengah. Seperti lengkungan kubah yang
sangat mudah dijumpai di masjid-masjid.
Berkunjung ke masjid ini tidak terlalu sulit. Selain di peta sudah
tercantum, letaknya tidak jauh dari Stasiun Gubeng-Surabaya. Bila
menggunakan jasa taksi dari Stasiun Gubang paling menghabiskan
perjalanan 10 menit. Alamat lengkapnya, di Jalan Gading Nomor 2
Surabaya. Memang posisinya agak menjorok di pemukiman warga. Saat itu
juga, penulis dan rekan-rekan sempat salah masuk jalan.
Jika masuk dari arah timur, masjid ini tidak terlalu kentara karena
terhalang gedung yayasan dan kantor pengurus. Namun jika dari arah
selatan, meski terhalang dinding tinggi, puncak masjid terlihat hijau
dan merah menyala.
Jalan menuju masjid ini hanya satu pintu yang dijaga oleh beberapa
satpam. Tak banyak tanya satpam di sana. Mungkin karena terbiasa, atau
memang menujukkan bahwa masjid ini sangat terbuka dikunjungi siapapun,
termasuk pengunjung non muslim. Saat itu, ada remaja yang berkulit putih
dan komunikasinya menggunakan bahasa China. Mereka leluasa mengambil
foto bahkan dengan bebas masuk ke ruang utama masjid.
Memasuki kompleks masjid, di sebelah kanan terlihat WC berjajar dengan
atap berarsitektur China. Tteapi pagar di sekeliling, seperti halnya
pagar masjid atau perkantoran pada umumnya. Menggunakan kawat yang
dianyam dan tinggi sekitar tiga meter.
Masjid berukuran 11 X 12 meter persegi ini, didominasi warna merah dan
kuning serta hijau, layaknya warna klenteng-klenteng di tanah air. Dari
arah depan, warna merah tersebut nampak mencolok. Namun dari dua tangga
kiri kanan, sangat kentara tulisan kaligrafi arab menggunakan bahan
kuningan, berdiameter sekitar satu meter. Kaligrafi ini jika dibaca
ternyata isinya bismillahirrohmaanirroohim.
Dominasi warna merah juga terdapat dalam lespang di setiap undak
bangunan. Ada tiga tingkatan atap masjid ini. Jika dilihat dari atas
akan terlihat seperti jaring laba-laba. Di antara atap ke tiga dan
empat, dalam ukiran kaca diisi dengan kaligrafi sifat-sifat Allah yang
20. Mulai sifat wujud hingga sifat mutakaliman. Sifat-sifat ini yang
menjadi pegangan logika ilmu kalam yang dicetuskan Asyariyah yang banyak
dianut di Asia Tenggara termasuk di Indonesia yang beraliran “ahlusunnah waljamaah”.
Sementrara itu, di pinggir kanan masjid terdapat realif Laksamana
Chengho beserta perahu yang menjadi armada pelayaran Cheng Hoo
mengelilingi dunia.
Gambaran yang menunjukan tradisi China juga terdapat beduk yang
bentuknya seperti beduk-beduk yang digunakan dalam pertunjukan
barongsai. Beduk tersebut disimpan di pintu masuk sebelah kanan dan bagi
yang postur tubuhnya tinggi, beduk itu bisa tersundul.
Beduk di masjid atau mushola di pulau Jawa sudah biasa dan fungsinya tidak berbeda dengan beduk di masjid Cheng Hoo. Yakni, untuk pertanda masuknya waktu shalat, selain dengan lantunan suara muadzjin.
Suasana China juga sangat terasa saat masuk ke dalam masjid yang terdiri
dari dua tangga tersebut. Di antara ruang istirahat dan ruang utama
masjid ini dipisahkan dengan pagar besi tempa yang mengesankan dibuat
ratusan tahun lalu. Terlihat sangat kokoh dengan ukiran khas China,
ikurannya mirip kepala barongsai juga kotak-kotak yin dan yang. Dinding
belakang dan depan terbuat dari bata-bata yang tidak diplester namun
terlihat ditata apik. Warna catnya, merah bata menyala dan terlihat
lekak-lekuk antra bata-bata yang tersusun dicorok itu. Sementara seluruh
tiang, terlihat tinggi menjukang dan dikakinya dilapisi besi tempa yang
mengesankan bangunan kuno.
Namun naunsa arab agak terasa jika kita memalingkan penglihatan ke atas
masjid. Meski dari luar terlihat bangunan China, namun dari dalam ini
terliat lengkungan kubah yang kiri kananya bertuliskan asmaul husna yang
99. Kaligrafi seperti ini sangat mudah ditemukan pada lukisan
masjid-masjid di tanah air.
Mengapa diberi nama Masjid Muhammad Cheng Hoo? Pengurus
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Timur yang juga imam
masjid Cheng Hoo, Ustad H Haryono Oong menjelaskan, nama tersebut
sebagai salah satu bentuk penghargaan atas kebesaran Choing Hoo yang
telah berlayar menyuarakan perdamaian ke penjuru dunia termasuk ke
Kerajaan Majapahit saat itu. Sedangkan bentuk masjid katanya, diadopsi
dari sebuah masjid di Kota China. Namun dia, di China sendiri tidak ada
masjid bernama Masjid Muhammad Cheng Hoo. Sehingga masjid ini diyakni
merupakan masjid pertama di dunia yang diberi nama Muhamad Cheng Hoo.
Selain masjid di bawah yayasan PITI tersebut, di lokasi yang sama,
terdapat lembaga pendidikan TK dan TPA. Murid TK di sini tidak semunya
bergama Islam. Kata warga keturunan lulusan IAIN Sunan Ampel Surabaya
ini, sekitar 10 persen muridnya non muslim.
Meskipun belum termasuk masjid terindah di dunia, kita sebagai Warga
Negara Indonesia harus merasa memiliki dan bangga akan semua yang ada
dan di hadirkan oleh nenek moyang kita, para pejuang kita. Sematkan di
dada semuanya satu, satu untuk Indonesia, jangan pernah mau untuk
dipecah belah, karena kita semua bersaudara.
0 komentar:
Posting Komentar